Menjadi Penulis yang Jualan Buku , Mengapa
Enggak?
Vanda Arie
Kita semua sepakat ya... bahwa manusia diciptakan bukan
ada begitu saja tanpa misi. Seperti batu atau ranting yang tergeletak begitu
saja. Batu dan ranting saja masih bermanfaat kan? Untuk mencapai misi itu
makanya saya harus berkarya, berbuat sesuatu. Salah satunya saya memilih
menulis.
Kata
Ippho Santosa: “Kata-kata menguap, tulisan mengendap.”
Kata Sayyid
Qutb: “Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, tapi satu tulisan
mampu menembus ribuan bahkan jutaan
kepala.”
Kata Seno Gumira Adjidarma :
"Boleh bisa apa saja termasuk menulis. Boleh tidak bisa apa saja, kecuali
menulis."
Mengapa (saya) menulis?
·Karena
tulisan berumur lebih panjang dari usia kita.
·Karena
tulisan adalah bunyi yang tersembunyi yang bisa mempengaruhi banyak orang.
·Karena
tulisan adalah makanan jiwa, menulis adalah tanda kita pernah ada di dunia ini.
·Karena
dengan menulis, tidak hanya membuka pintu rezeki tapi juga ladang pahala
insya Allah.
·Karena menulis (kebaikan) adalah salah satu tanda bakti pada orang tua. Semoga menjadi pahala jariyah bagi beliau berdua.
Mula-mula
saya yang introver, plegmatis, melankolis ini menganggap bahwa menjadi
penulis adalah cara saya bisa eksis
dengan tetap bersembunyi di balik layar.
Ketika tulisan/buku terbit ya sudah terbit, ya terbit saja. Promosi
secukupnya, urusan penerbit untuk memajang di toko buku, selesai. Tinggal duduk
nunggu royalti cair. Sudah cukup puas
Kemudian, saya mendapat pencerahan yang cukup bikin
baper. Bikin kepikiran, bahwa kalau para pengedar narkoba, pembuat film porno,
pembuat konten-konten negatif nggak pernah lelah, bosan, apalagi malu promosi
karya mereka agar bisa menyebar luas dan memengaruhi banyak orang, mengapa
nggak meniru mereka? Mereka gencar mencari follower sebanyak-banyaknya.
Menawarkan dagangan, karya mereka yang 'merusak' itu agar meluas ke orang
banyak.
Mengapa mesti malu mensyiarkan
(jualan alias bakul) buku-buku karya sendiri dan karya penulis lain yang kita
tahu pasti manfaatnya?
Nah, dari sanalah kemudian disamping
menulis saya juga jualan buku. Apalagi ketika pandemi melanda seperti saat ini.
Sebagai penulis, tidak bisa hanya mengandalkan penjualan dari toko-toko buku
konvensional. Hampir semua toko-toko offline beralih ke online. Hampir semua
usaha terpuruk, termasuk dunia penerbitan buku. Pandemi ini seperti mengajarkan
pada semua orang untuk berubah dan terus bergerak dalam menebarkan kebaikan dan
manfaat. Janji Allah itu pasti, bahwa sesungguhnya bersama kesulitan, pasti ada
kemudahan. Bahkan ayat itu diulang hingga dua kali.
Hampir semua orang dituntut
untuk beradaptasi dengan keadaan. Termasuk di dunia tulis menulis dan
penerbitan. Jika kita mampu mengambil hikmah dari pandemi ini, maka pandemi ini
adalah salah satu cara Allah untuk mengajarkan banyak hikmah.
Nilai lebih menjadi penulis yang juga 'mbakul' buku atau lebih kerennya disebut writerpreuner adalah :
·Lebih
mudah jualan apalagi kalau buku karya sendiri, karena membawa branding diri.
·Bahagia
kalau mendapat kiriman testimoni, foto buku yang sudah sampai, review di blog,
resensi di koran dari para pembeli dan pembaca bukunya.
·Jadi
banyak belajar dari berbagai sumber, tentang menjual yang menyenangkan
misalnya. Karena pada dasarnya orang itu lebih suka diceritain, didengerin
daripada dijualin. Mendapat banyak teman baru, menyambung silaturahim.
·Dan
ini yang paling penting tentunya, dapat rezeki dobel-dobel dari margin
penjualan dan royalti bukunya hehe, Alhamdulillah yaa...
·Kalau
dukanya, mungkin waktu jadi terpecah-pecah. Harus pintar-pintar mengatur waktu
kapan jualan, kapan nulis dan kapan aktivitas lainnya.
Selamat menebar kebaikan dan
meluaskan manfaat melalui tulisan dan buku. Karena buku dan tulisan yang baik
adalah buku dan tulisan yang bisa meningkatkan keimanan pembacanya. Salam
literasi yang berkeadaban :)
MasyaAllah keren ....
BalasHapus