Bara yang Tak Mampu Membara
Oleh: Tyas
W.
Jadi, siapakah
jajak insan yang pantas menerima kobaran apimu, Bara? Mereka yang telah
membuatmu gamang tanpa peduli kemana lagi jejak singgah yang akan kau tuju. Waktu
terus berputar menemani pancaran purnama yang semakin terang. Padahal piranti
gawaimu akan segera meredup. Sementara panas nasi lezat itu perlahan menguap
bersama angin malam.
Dan, tempat ini pun kau tak mengenalnya. Spidometermu mencatat tiga belas kilometer perjalanan. Tempat yang cukup jauh dari perkotaan. Jauh dari hiruk-pikuk kemacetan. Sepi. Seperti sebuah desa yang dihimpit penuh misteri. Lihatlah jalan setapak yang kau telusuri. Di kanan-kiri penuh pohon randu menjulang tinggi. Berjarak sepetak kau temui juru kunci. Jika kau endus baunya pasti sewangi melati. Namun, tentu saja kau bukan lelaki dengan segudang syirik menghantui. Kau sangat rajin dalam ibadah. Kau juga selalu menjaga tata krama.
Bukankah aku memahami
perangaimu melebihi istrimu? Bahkan aku menemanimu lebih lama sebelum kau madu.
Ingatkah kau saat masih menjadi mahasiswa dulu? Kau begitu tergila-gila padaku.
Kau bahkan ingin merebut diriku dari tangan kawanmu meski dengan bersusah-payah
mengumpulkan koin demi meminangku. Dari mana kau dapatkan koin itu, Bara? Ya,
dari menulis buku.
Aku
menyaksikan perjuanganmu. Kuberi tahu satu hal. Di tengah kesibukanmu
menyelesaikan skripsi, kau punya hobi dan ketertarikan di bidang sastra. Jangan mengira kau adalah orang hebat yang mampu menghasilkan karya menarik
dalam waktu singkat. Kau jauh dari itu. Kau hanya seorang penulis kacangan yang
tekun menulis apa yang kau rasa, kau lihat dan kau dengar. Dan saat sebuah
karyamu tembus ke media, dari situlah kau terus menghadirkan kisah dan setumpuk
puisi hasil goresan pena. Banyak orang menunjukkan apresiasi positif terhadap
kertas-kertas yang telah kau tulisi itu. Aku tersanjung, tapi sepertinya mereka
terlalu hiperbolis. Buktinya, kau tak lagi melanjutkan karya-karya itu. Kau
rela mengubur imajinasimu demi sebuah pekerjaan bermutu.
Oke! Maafkan aku terlalu
banyak bercerita tentang dirimu. Kita kembali ke ruang semula dimana setiap
orang termasuk aku menyebutnya sebagai perpustakaan. Benar, di tempat inilah
selain kau gunakan sebagai tempat mencari buku teori dan rujukan lain, kau
sering memisahkan diri dari keramaian, sejenak melepas kelelahanmu secara
psikis akibat jadwal proposal skripsimu. Juga di tempat itulah kau sering
menyelesaikan karya-karya yang sudah menjadi hobimu itu. Aku selalu menunggumu
di seberang. Menanti kedatangan lalu mengantarmu ke peraduan. Namun, gadis itu.
Iya, dia yang kini menjadi pendampingmu, berhasil mengubah cara pandangmu. Kau
telanjur mencintainya hingga mengorbankan impian menjadi penulis kondang.
”Kakak iparku adalah
seorang dokter, kakak keduaku dosen, dan yang ketiga seorang polisi. Ayah ingin
menantunya berpendidikan tinggi dan bekerja mapan semua. Bukan penulis yang
tidak terlalu jelas royalti per bukunya,” ujarnya.
”Tidak,
Bara! Aku melihat potensimu!” teriakku. Namun, kau tak bergeming. Tidakkah kau
lihat hasil jerih payah menulismu selama ini? Kau sungguh luar biasa. Tahukah
kau? Terkadang sesuatu yang disepelekan justru ia sangat menguatkan.
”Baraaa...!” Lagi-lagi kau mengabaikanku. Kau hanya peduli pada gadis itu.
Baiklah. Aku pun mengalah
melihat keberuntunganmu. Sebelum menikahinya, kau diterima menjadi buruh. Pekerjaanmu
memang bergengsi, tapi sayang kau tak cukup mampu mengatasi. Kau tak
seberuntung burung-burung yang bertengger di ujung atap gedung. Burung itu mujur.
Mereka masih memiliki tempat di sela bangunan yang semakin marak. Burung-burung
itu masih mampu menikmati alam raya sebagai habitatnya.
Alam masih berpihak padanya. Masih
menyisakan pepohonan. Menyisakan hujan yang menyejukkan. Menyisakan desir angin
yang menenteramkan. Juga embun yang menenangkan. Entah, dimana mereka akan
tinggal jika semuanya berganti menjadi hutan beton atau berganti menjadi gedung
pencakar langit. Namun, kuakui masih ada beratus dari berjuta orang yang peduli
pada alam. Burung-burung itu seperti ingin menyerukan sebuah pesan. Ada pesan
keharmonisan yang ingin disuarakan. Ada pesan keseimbangan alam yang ingin
disampaikan. Juga pesan kebebasan yang bertanggung jawab untuk dinyanyikan.
Jaga alam ini! Tempat tinggalmu dan tempat
tinggalku! Jagalah agar semua seimbang antara balok-balok semen yang kau bangun
dengan pepohonan yang memberikan oksigen kehidupan! Begitulah suara-suara samar
itu memenuhi telingaku.
Lamat-lamat, dengarkanlah pesan itu!
Suara-suara sunyi yang diserukan oleh sepasang burung. Hingga kau mampu
mendengarkan suara hatimu sendiri. Seharusnya kau tahu, orang sibuk hanya label
bagi mereka para pekerja, tapi orang produktif sepertimu seharusnya fokus pada
hasilnya. Sekarang kau mengerti, ‘kan, Bara? Kau tak mahir menghimpun anak buahmu. Pasokan produksi di bawah
kepemimpinanmu pun kerap tak maju. Kau sadar hal itu sehingga berkali-kali
perusahaan menggilirmu di bidang-bidang tertentu, tapi hasilnya sama. Nihil.
Sejak negara ini dilanda
wabah, saat itulah kehidupanmu berubah. Wabah yang menjangkiti manusia begitu
buas. Banyak orang dihimbau agar berdiam diri di rumah. Aparat sangat ketat
mendisiplinkan warga. Aturan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak
tidak bisa dilawan. Apalagi kau tinggal di daerah zona merah wabah. Banyak
kasus positif virus di wilayahmu. Belum lagi, kasus tahanan yang dibebaskan
membuat masalah kian menumpuk. Bagaimanapun, mereka akan jadi pemakan tanpa
guna di tengah situasi ekonomi yang sulit. Penghasilan masyarakat benar-benar
pontang-panting. Para pedagang bagai hidup segan, mati tak mau. Begitu pula para
pekerja yang mengalami pembatasan tenaga kerja seperti dirimu.
Bara terdiam. Kakinya
terasa berat beranjak dari tempatnya mematung kini. Ia berdiri di depan papan
besar yang berisi sederetan nama-nama. Bara hampir tidak mempercayai kejadian
yang baru saja menimpa dirinya. Ia bingung. Matanya nampak tak sanggup
membendung air mata yang berdesakan keluar. Namun, hal itu pantang kau lakukan
sebab kau lelaki.
Aku memperhatikannya dari tempatku berdiri di sebuah teras. Otaknya seperti
berpikir keras. Mencari jalan keluar atau apa pun yang akan ia lakukan
selanjutnya. Tapi gagal. Ia masih buntu. Kekecewaan jelas tergambar di
wajahnya. Ia menunduk lesu. Dengan langkah gontai, lelaki berambut ikal itu
nampak mondar-mandir di ruangan yang menjadi kantor terakhirnya.
Harapannya kandas. Begitu
juga harapan ayah mertuanya hanya tinggal angan-angan. Kulihat istrinya nampak
tegar menghadapi kenyataan ini, tapi ia tidak mampu menyembunyikan kesedihan
yang mendalam. Ya, aku melihat kebingungan jelas terpancar dari wajah ibu dua
anak itu. Dan nampaknya bukan hanya bingung, tapi juga sangat terpukul. Matanya
yang dapat kutangkap, terlihat berkaca-kaca, menahan tangis yang hendak pecah. Entah
apa yang terjadi pada ayahnya jika tahu menantunya dipecat. Bukan saja
mengecewakan, tapi ayahnya pasti malu dan keras memikirkan nasib anak perempuan
serta cucunya.
Sesekali, Bara menoleh
kepada wanita yang menjadi pendampingnya itu. Dan ia mendapati wajah wanita itu
lebih gusar dari dirinya. Kekhawatiran jelas menguasai wajahnya.
”Ayah tidak boleh mengetahui hal ini, Mas, secepatnya kau harus mencari
pekerjaan baru,” katanya.
Kau hanya bisa menurut. Raut wajahmu nampak sangat cemas dan berujar yang
tak lain kau tujukan pada dirimu sendiri. Ojek
online adalah pilihanku saat ini.
Oh, tidak, Bara! Apakah kau sudah memikirkan matang-matang? Bukankah aparat
berseliweran dimana-mana demi keselamatan warganya dari wabah? Berdiam dirilah
di rumah lalu tumpahkan keliaran pikiranmu seperti dulu. Rasakan betapa
bahagianya hatimu setiap kali menulis. Membuat coretan di atas buku.
Menghabiskan waktu menunggu dengan menumpahkan isi pikiran, mengawinkan pensil
di atas kertas, lalu memainkan jemari di atas tuts komputer. Ingatlah ketika
kau tertawa dalam diammu tentang tokoh yang kau hadirkan di lembar-lembar
novel. Mereka adalah tokoh nyata di dunia lain, entah itu aku atau kamu. Ia
bisa jadi sosok ideal, atau bahkan sosok yang seharusnya tak boleh ada di muka
bumi ini seperti Firaun karena kejahatannya. Menarik bukan? Apalagi jika kau menuliskannya
dalam media yang sangat maju seperti saat ini. Akan bisa ditebak hasilnya. Begitulah,
Bara, seharusnya kau membara.
Ya Tuhan... hidup ini memang pilihan. Ingin sekali aku berbisik kepada
Bara, tapi aku tak mampu. Barangkali sudah jadi nasibnya. Hampir 2 jam sejak
pembeli terakhir datang, ia terus menunggu pembeli berikutnya. Menengok
kanan-kiri, sambil menelan ludah. Sekali lagi aku memahami perangainya melebihi
istrinya. Lelaki itu semakin meringkuk pasrah. Namun, raut wajah anak dan
istrinya membenamkan keletihannya. Ah, rupanya masih ada kesempatan. Tidak lama
setelah itu, gawainya berdering, pesanan datang. Sebanyak lima bungkus nasi
goreng dan lima cup es teh pesanan pelanggan segera diantar. Dengan girang ia
melaju hingga sampai di padang gelap penuh kelelawar berseliweran seperti
aparat. Oh, tidak, tempat apa ini?
Mendadak aku tersadar. Kau
pasti tertipu seperti minggu lalu. Berpuluh kali kau putari desa itu, mereka
tak akan mengaku, sebab pembeli itu adalah pelanggan palsu. Ya. Kusaksikan
bulir kekecewaan menutupi pandanganmu. Kau duduk terhuyung meratapi raibnya
uang seratus lima puluh ribu. Kalaupun kau mengadu padaku, aku tak mungkin bisa
menjawabnya karena aku hanyalah motor butut yang menjadi idolamu. Aku hanya
teringat masa lalu, seandainya kau kobarkan api bakat dalam dirimu, tentu saat
ini kau telah menjadi penulis masyhur.(*)
*****
Identitas Penulis:
Nama : Tyas Wulan Sari
ID instagram : tyaswulan16
E-mail : thy_thalita87@yahoo.co.id, tyaswulan1606@gmail.com
Aku padamu, Mbk Tyas 😘
BalasHapusSalam cikguuu...tetep belajar bersamamu🥰
HapusCerpenis Sidoarjo. Salam sukses untuk mbak Tyas.
BalasHapusMbak Yun...pakar artikel mah klo dirimuuu🥰 sukses selalu utk mu
BalasHapus