Bisikan di Pinggir Pantai
Duka yang
dirasakannya terus menusuk-nusuk batinnya. Kenangan yang menari-nari di pikirannya
menghantuinya tiap malam. Rasa bersalah menumpuk menjadi beban dalam hidupnya, andai
saja dirinya mencegahnya pergi. Di hari itu, kelabu mulai menutup hidupnya.
Seperti di malam ini, ketika rintik
hujan dan genangan air mulai berubah mulai surut dan pasir di tangannya mulai
membosankan, dirinya tetap terpaku dan menetap di masa lalu. Berharap sosok itu, muncul turun dari sampan. Seperti biasa..
***
11
Januari 2021
Pantai
Takisung, Kalimantan Selatan
Pohon kelapa apa yang berada di
pinggir pantai meliuk-liukan daunnya, menari-nari diiringi oleh bisikan angin.
Ombak tepi pantai memecah, melelehkan suasana siang. Beberapa sampan terlihat
dari kejauhan. Di atasnya siluet
beberapa
orang tengah menebar pukat,
ada juga yang duduk diam sambil menunggu ikan mendekat .
Di bawah pohon kelapa, seorang gadis
dengan rambut yang di kuncir kuda tengah
sibuk menggerakkan jari-jarinya di atas pasir, membentuk suatu gambar yang
membuat beberapa pasang mata akan berhenti dan menoleh dua kali untuk
melihat hasil dari kreativitas
tangannya.
Arai, nama dari seorang gadis yang
binar matanya secerah bintang di langit. umurnya baru 7 tahun, hanya saja dia
berbeda dari anak-anak seusianya. Hanya sunyi dan sepi yang dapat ia dengar.
sejak lahir ia belum pernah mendengar apa itu yang disebut suara. Hal itu,
menjadi salah satu alasan kenapa dirinya
tidak pernah duduk di bangku sekolah.
Kegiatannya, hampir sama setiap harinya. Di
mana dirinya akan duduk di bawah pohon kelapa di dekat tepi pantai sembari
membuat jari-jarinya nya menari di atas pasir. Saat cahaya matahari redup, ketika beberapa sampan kembali mendekat menghampiri tepi pantai
dengan beban ikan kan di atasnya adalah
waktu yang paling membahagiakan bagi Arai.
Perempuan dengan keriput juga punggung yang sedikit membungkuk adalah sosok
yang dinanti oleh Arai. Nenek atau yang
kerap ia panggil Nini tengah tersenyum dari atas sampannya. Beberapa perempuan
juga laki-laki berada di atas sampan terlihat tersenyum melihat gadis kecil itu
menanti Nininya.
Begitu sampan, telah berhenti di
tepi pantai. Arai segera berlari mendekat. Tangannya terulur ikut membantu
membawakan ikan yang ukurannya lebih kecil, hasil menebar pukat dari pagi.
Senja mulai berganti dengan gelapnya
malam, ketika Arai dan Nininya sampai di gubuk tua tempat mereka tinggal.
Hanya, mereka berdua yang bertahan hidup
di rumah kecil dengan satu buah lampu minyak di ruang tamu. Setelah membuatnya
menyala, Arai dengan tanggap memberikannya kepada Nini yang sejak tadi
terbatuk.
Dengan suasana gelap yang
mendominasi, walaupun sudah dibantu oleh lampu minyak di atas meja, tidak mampu
mengalahkan gelapnya malam. Arai berharap hujan tidak turun, ia tidak tega
melihat Nininya kewalahan menghadapi air hujan yang menetes dari atap rumah
mereka yang berlubang dimana-mana.
Pikiran Arai melayang, di kejadian
kemarin siang. Dimana ia melihat beberapa orang yang seumuran dengannya memakai
seragam sekolah. Hati kecilnya berharap sekali saja ia dapat merasakan
bagaimana dirinya menjalani kehidupan seperti anak-anak lainnya. Arai penasaran
seperti apa sekolah, seperti apa rasanya..
Pandangan Arai kembali menghadap
sang nini yang kini tengah menghidangkan nasi.
Hanya nasi, jika mereka hari ini makan daging atau ikan maka dapat dipastikan
jika mereka akan kelaparan karena tidak bisa beli beras lagi. Karena, hanya
Nini yang menjadi tulang punggung keluarga.
“Nini….” Suara lirih dari Arai
memecah keheningan di ruangan gelap itu.
Mendengar panggilan dari cucunya itu, membuat perempuan dengan raut
lelah itu menatapnya.
“Arai mau.sekolah.”
Mendengar kalimat itu, perempuan
yang sudah melalui banyak hal di hidupnya itu menghela napas. Tidak sekali atau
dua kali Arai meminta hal yang sudah pasti ia tolak. Bukan karena dirinya ingin
cucunya menjadi buta akan ilmu. Tapi mereka hanya orang pinggiran yang mengais
rezeki dari laut. Itupun jika cuaca sedang cerah. Bahkan hasil menjual
tangkapan hanya dapat mencegah mereka dari rasa lapar. Selain itu, kondisi Arai sendiri tidak memungkinkan.
Dengan pandangan sedih, Nini menggelengkan kepala ke arah Arai, isyarat yang
menandakan dirinya tidak menyetujui keinginan cucu satu-satunya itu.
Pandangan Arai kembali menunduk.
Matanya memanas, menandakan dirinya tengah menahan tangisnya. Melihat air mata
yang menyebar di pelupuk mata cucunya. Nini hanya dapat memeluk sambil mengelus
kepala Arai.
Langit semakin menghitam, angin
berbisik lewat sela-sela rumah. Menidurkan mereka yang lelah dari susahnya
kehidupan.
***
12
Januari 2021
Sejak pembicaraan di malam itu, Arai
merasakan hal aneh pada Nini. Nini mulai berangkat pergi ke laut sejak dini
hari. Sementara itu, Arai seperti biasa menunggu dibawah pohon kelapa. Membuat
sebuat sketsa di atas pasir.
Angin kembali berbisik, ketika
siluet beberapa sampan tiba-tiba mendekat. Arai tertawa bahagia begitu
mengetahui Nini tiba lebih awal. Sayangnya, raut wajah Nini tidak sebahagia
dirinya. Arai hanya mampu memandang nininya
yang kini tengah berbicara dengan seorang nelayan. Raut wajah keduanya keruh.
Esoknya, Nininya berbicara lewat
gerakan tangan. Hal yang sering mereka lakukan untuk berkomunikasi. Sebelum
Nini melangkah keluar. Sayangnya, firasat Arai hari itu sedikit buruk. Tapi,
Nininya terlanjur menjauh dari gubuk dan
pergi ke arah laut. Hari itu, cukup berbeda karena Nini
menyuruh Arai untuk tetap diam di rumah.
‘Jangan’
‘keluar’ ‘rumah’
Isyarat yang dilemparkan nininya begitu jelas. Hari
itu, Arai memilih masuk ke ruangan sempit gelap yang selalu Nininya pakai untuk
tidur. Sesuatu menarik perhatiannya, selembar kertas tipis yang berada di atas ranjang kayu tua.
Mata Arai membelalak, hati nya
ditumbuhi benih-benih kebahagiaan. Di brosur lusuh itu, terdapat gambar alat
bantu pendengaran. Sesuatu yang selalu diinginkan oleh Arai sejak Pak RT datang
menawarkan alat ini pada dirinya juga Nini. Sayangnya, pada waktu itu Nini menolak.
Dengan penuh kebahagiaan, Arai
menunggu di depan rumah. Duduk sambil melakukan hobinya, membuat jari-jemarinya
menari di atas tanah. Angin kembali berbisik, tapi bisikannya sedikit keras.
Sebelum berubah menjadi amukan. Hujan tiba-tiba turun dengan deras, seolah
melampiaskan kesalnya pada tanah yang dipijak oleh Arai.
‘Menakutkan.’
Kaki kecil gadis berkuncir kuda itu
gemetar, Arai segera masuk ke rumah. Hatinya berdenyut, fikirannya mengambang
tentang keadaan Nininya. Air mulai merambat masuk, menyebar di dalam rumah, dan
semakin naik. Dengan tergesa-gesa Arai naik ke atas meja, tapi itu belum cukup.
Pikiran Arai terpecah belah, tubuhnya mulai gemetar ketakutan. Tangisnya mulai
pecah.
Hingga tiba-tiba, seseorang
menerobos masuk. Itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Sosok ibu yang sering
membantu dirinya dan Nini. Ibu itu, menerobos air yang masih naik dan segera
membawa Arai keluar.
Hati Arai berdenyut begitu mengingat
sang Nini. Di arahkan pandangan nya ke beberapa orang yang tengah berlari menerjang
air yang semakin meluap. Matanya mencari sosok Nininya. Tapi, di matanya hanya
ada orang-orang yang tidak ia kenal.
“Nini.Nini”
Kata itu meluncur dari bibirnya,
namun tidak ada yang bisa Arai dengar. Arai hanya ingin sosok perempuan tua
yang biasanya membuatnya tenang. Bukan, kerumunan orang-orang yang kini berdiri
di dataran tinggi sembari menangis meratapi rumah mereka yang tenggelam oleh
air.
Tapi, matanya tidak pernah menemukan
sosok Nininya. Dimanapun. Bahkan ketika kejadian ini berlalu, ketika
orang-orang mulai kembali turun, atau ketika Nini mendapat alat bantu dengar
dari pemerintah. Sosok perempuan yang selalu Arai tunggu di bawah pohon kelapa
dengan ditemani bisikan angin dan tangannya yang kembali menari di atas pasir.
Perempuan yang kerap dipanggil Nini itu tidak pernah kembali.
0 comments